Rabu, 22 Juni 2016

Makalah Tafsir tarbawi Surah at-taubah ayat 122

TUGAS MAKALAH
“Surah at-Taubah Ayat 122”
Diajukan Untuk Didiskusikan Dalam Mata Kuliah Tafsir Ayat Tarbawi

LOGO STAI YASNI MB.jpg



DOSEN PENGAMPU:
Mubaidilah.S.Th.I.MA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1:
ITA ROHANI
EKA PURNAMAWATI



STAI YASNI MUARA BUNGO

TAHUN AKADEMIK 2015

KATA   PENGANTAR

Segala puji kami hantarkan kehadirat Pencipta dan Pemilik alam semesta Allah SWT. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada manusia paling sempurna Nabi Muhammad SAW para sahabat dan seluruh umatnya.
Berkat pertolongan Allah SWT kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah tentang Iman Kepada Allah Sebagai Rabb yang kami susun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Tafsir Tarbawi. Kami harapkan makalah ini bisa membantu teman – teman untuk mengenal dan dapat untuk mendalaminya lebih jauh.
Kami penyusun makalah ini menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan di sana, Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah yang akan datang.




Penyusun,September 2015








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar  Belakang........................................................................................           iii
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................           iii
1.3 Tujuan…………………………………………………..........................           iii
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Surah at-Taubah Ayat 122 dan Terjemahaannya …..…………….................... 1
2.2  Tafsir Mufrodat…………….............………………….................................... 2
2.3  Asbabul al-Nuzul............................................................................................... 2
2.4  Penafsiran Surat at-Taubah ….…………………….......................................... 2
2.5  Aspek-Aspek Tarbawi…………………………………..........................          14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................................... 16
3.2 Saran.................................................................................................................. 16
 DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Surat at-Taubah terdiri atas 129 ayat termasuk golongan surat-surat Madaniyyah. Surat ini dinamakan at-Taubah yang berarti pengampunan berhubung kata at-Taubah berulang kali disebut dalam surat ini. Dinamakan juga dengan Baraah yang berarti berlepas diri yang di sini maksudnya pernyataan pemutusan perhubungan, disebabkan kebanyakan pokok pembicaraannya tentang pernyataan pemutusan perjanjian damai dengan kaum musyrikin. Disamping kedua nama yang masyhur itu ada lagi beberapa nama yang lain yang merupakan sifat dari surat ini.  Berlainan dengan surat-surat yang lain, maka pada permulaan surat ini tidak terdapat basmalah, karena surat ini adalah pernyataan perang dengan arti bahwa segenap kaum muslimin dikerahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrikin, sedangkan basmalah bernafaskan perdamaian dan cinta kasih Allah. Surat ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad S.A.W. kembali dari peperangan Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H. Pengumuman ini disampaikan oleh Saidina 'Ali . pada musim haji tahun itu juga. [1]
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan. Yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada Allah SWT dan menegakkan sendi-sendi Islam.[2]
Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak disyariatkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut, agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik. Surat at-Taubah merupakan akhir surat yang diturunkan, setelah itu Nabi wafat dan belum menjelaskan letaknya. Adapun ceritany menyerupai cerita yang ada pada Surat Al-Anfal. Sesungguhnya Nabi  memerintahkan untuk meletakkan Surat ini sesudah Surat al-Anfal itu karena adanya wahyu. Dan menghilangksn bismillahirahmanirrahiim pada awal Surat ini juga wahyu.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Sebutkan Bunyi Surat at-Taubah Ayat 122 Berikut Terjemahannya!
2.      Jelaskan Asbab Al-Nuzul Surat at-Taubah Ayat 122?
3.      Bagaimana Penafsiran Surat at-Taubah Ayat 122?
4.      Jelaskan Aspek-Aspek Tarbawi Surat at-Taubah Ayat 122?

1.3  Tujuan Penulisan
Makalah ini kami tulis adalah untuk memenuhi tugas kelompok dari mata kuliah Tafsir Tarbawi, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan  kita.

 BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Surah at-Taubah Ayat 122 dan Terjemahaannya
* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ
Artinya: Dan tidaklah semuanya kaum mukmin itu harus pergi, tetapi cukuplah yang pergi itu sebagian saja dari tiap-tiap golongan. Sedangkan yang tinggal digaris belakang harus memperdalam pelajaran agamanya, supaya bisa memberi pengertian kepada mereka yang pergi bila sudah kembali ketempat mereka, supaya mereka itu bisa berhati-hati. (QS.at-taubah:122)


2.2 tafsir  mufradat
Nafara       : berangkat perang[1]
Laula        :Kata-kata yang berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu yang  disebutkan sesudah kata-kata tersebut, apabila itu terjadi dimasa yang akan datang. Tapi “Laula” juga berarti kecemasan atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan   sesudaah kata itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila hal yang dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa saja ”Laula”,itu berarti perintah mengerjakannya.
الفرقة  - Al- Firqah : kelompok besar
الطائفة – At- Ta’ifah          : kelompok kecil
تفقه – Tafaqqaha                 :berusaha keras untuk mendalami dan memmahami suatu perkara  dengan susah payah untuk memperolehnya.
انذره – Anzarahu               : menakut-nakuti dia.
حذره – Hazirahu               : berhati-hati terhadapnya.[2]
2.3 Asbabul Nuzul (sebab turun ayat)
      Di riwayatkan oleh Ibn Abi Hatim yang bersumberkan daripada Ikrimah katanya, ketika turun ayat Bermaksud: “Jika kamu tidak pergi beramai-ramai (untuk berperang pada jalan Allah - membela AgamaNya), Allah akan menyesatkan kamu dengan azab siksa yang tidak terperih sakitnya” (at-Taubah:39)[3]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah bahwa pada waktu QS. at- Taubah ayat 39 turun ada beberapa orang yang tidak hadir dalam peperangan karena hidup di daerah pedalaman (Badui). Mereka mengajar kaumnya ilmu agama. Melihat yang demikian, orang-orang munafik mengatakan : "Celakalah penduduk kampung itu, mereka tidak hadir berperang bersama Rasulullah." Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-122 yang memberikan ketegasan bahwa orang-orang yang tidak hadir dalam peperangan karena baru menekuni ilmu agama, mereka tidak berdosa. Jadi, orang yang belajar dan mengajar ilmu agama termasuk jihad.[4]
Dalam satu riwayat yang lain juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim daripada Abdullah bin Abidullah bin Amir berkata: “Orang-orang Islam diberi galakkan supaya berjihad, apabila Rasulullah SAW menghantar bala tentera ke medan perang mereka akan keluar beramai-ramai. Pada masa yang sama mereka meninggalkan Nabi Muhammad SAW. di Madinah dengan beberapa orang sahaja. Lalu ayat itu di turunkan.[5]
Riwayat lain dari Abdillah bin Ubaid bin Umar, oleh karena kaum muslimin berambisi sekali untuk berjihad, maka apabila ada seruan untuk berjihad di medan perang dari Rasulullah SAW . mereka dengan tanpa berpikir panjang langsung berangkat. [6] Tidak jarang mereka berangkat dengan meninggalkan Rasulullah bersama orang-orang dhaif di Madinah. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat 122 sebagai penegasan tentang larangan bagi kaum muslimin berangkat perang secara keseluruhan dan ayat ini memberikan tuntunan agar sebagian kaum muslimin menuntut ilmu agama, sementara yang lain berangkat jihad. Nilai pahala keduanya sama.[7]
2.4 Penafsiran surat at-taubah ayat 122
“Dan tidaklah semuanya kaum mukmin itu harus pergi,”(pangkal ayat 122). Sebagai juga ayat 113 dan 120, disini sama bunyi pangkal ayat,yaitu orang beriman sejati tidaklah semuanya turut bertempur berjihad dengan senjata kemedan perang.”tetapi a;angkah biknya keluar dari tiap-tiap goloongan itu,diantara mereka, satu kelompok supaya mereka memperdalam pengertian tentang agama.”[8]
Dengan susun kalimat falaulaa, yang berarti diangkat naiknya, maka Allah telah menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang yang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi berperang menurut kesanggupan masing-masing, baik secara ringan ataupun secara berat. Maka dengan ayat ini, Allah pun menuntun hendaklah jihad itu dibagikepada jihad bersenjata dan jilhad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama.[9]
Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardu’ain, yang wajib dilaksanakan setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila Rasul SAW sendiri keluar dan mengerahkan kaum mu’min menuju medan perang. [10]
Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi SAW. Mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi ke medan perang semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan suatu kabilah diantara mereka beberapa orang, beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat untuk memperdalam pengetahuan mereka yakni tetap tinggal di tempat mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[11]
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyah lantaran Nabi SAW. tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang, seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila Nabi SAW. berangkat ke suatu ghazwah.[12]
Allah SWT telah menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang yang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi perang menurut kesanggupannya masing-masing, baik secara ringan ataupun secara berat. Maka dengan ayat ini allah pun menuntut hendaklah jihad itu dibagi kepada jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama. Jika yang pergi kemedan perang itu bertaruh nyawa dengan musuh, maka yang tinggal memperdalam fiqh tentang agama,sebab tidaklah kurang penting jihad yang mereka hadapi.[13]
Dalam ayat ini, Allah SWT. menerangkan bahwa tidak perlu semua orang mukmin berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan. [14]
Dalam ayat 122 ini masih jelas diterangkan bahwa golongan-golongan itu keluar apabila ada panggilan dari sudah datang. Mereka semuanya datang kepada Rasulullah SAW mendaftarkan dirinya, ringan maupun berat, muda maupun tua. Tetapi hendaklah dari golongan-golongan yang banyak itu datang berbondong kepada Rasulullah, ada satu kelompok (thaifatun), yang bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya tentang agama itu adalah hal agama[15]
Tegasnya adalah bahwa semua golongan itu harus berjihad, turut berjuang. Tetapi Rasulullah SAW kelak membagi tugas mereka masing-masing. Ada yang berjihad kegaris muka dan ada yang berjihad digaris belakang. Sebab itu maka kelompok kecil yang memperdalam pengetahuannya tentang agama itu adalah sebagian daripada jihad juga.[16]
Sa’id Hawwa dalam kitab al-Asasu Fit Tafsir, memberikan penjelasan tentang ayat ini sebagai berikut:”sebaiknya sebagian (dari ksum yang berperang) keluar kemedan perang dan sebagian duduk berada dirumah mencari kebaikan dengan mendalami agama, mendengarkan wahyu yang diturunkan, dan menyeru kepada orang-orang yang berperang ketika mereka kembali”.[17]
Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi memberikan dua penjelasan yaitu: pertama, orang-orang mukmin sebaiknya tidak pergi semua kehadapan Nabi untuk mempelajari agama, karena itu tidak wajib dan tidak jawaz. Pendalaman agama bukanlah seperti perang bersama Rasulullah yang wajib diikuti oleh setiap orang islam yang tidak tertimpa udzur. Sebaiknya sekelompok dari penduduk yang tinggal di desa itu pergi ke hadapan Rasulullah  untuk mendalami agama dan setelah pulang ke desa, mereka menyeru kepada kaumnya agar mereka takut siksaan Allah dengan menjalankan perintah-perintahnya dan menjauhi larangannya.[18]
 Kedua,tidak boleh bagi kaum mukmin pergi semuanya (kemedan perang) dengan meninggalkan Nabi, tetapi sebaiknya mereka dibagi dua kelompok yaitu yang satu kelompok pergi berperang untuk menaklukkan orang-orang kafir dan yang satu kelompok bersama Rasulullah untuk mempelajari ilmu dan agama.[19]
Asy-syaikh Thanthawi Jauhari memberi penafsiran ayat ini sebagai berikut:”sebaiknya orang-orang mukmin tidak harus selalu pergi semua untuk berperang atau mencari ilmu, demikianlah pula tidak harus(berdiami diri) semua, karena itu membuat cacat urusan kehidupan. Sebaiknya supaya ada pembagian tugas diantara mereka, sebagian dari tiap-tiap kelompok supaya ada yang mendalami agama karena mereka dituntut untuk mengambil bagian dalam menghasilkan fiqh(pemahaman tentang agama) dengan tujuan setelah menghasilkan fiqh lalu mengajarkan kepada kaumnya dan menyebarluaskan agar mereka takut terhadap apa yang telah mereka takuti.[20]
supaya bisa memberi pengertian kepada mereka yang pergi bila sudah kembali ketempat mereka, supaya mereka itu bisa berhati-hati..”(ujung ayat 122).itulah inti kewajiban dari kelompok yang tertentu memperdalam faham agama itu, yaitu supaya dengan pengetahuan meraka yang lebih dalam, mereka dapat memberikan peringatan dan ancaman kepada kaum mereka sendiri apabila mereka kembali pulang.[21]
Ayat inilah yang telah menjadi pokok pedoman didalam masyarakat islam, yang telah digariskan oleh Rasul sendiri, diteruskan oleh khalifah-khalifah yang datang dibelakang, baik khulafaur rasyidin, atau Bani Umaiyah atau Bani Abbas dan menjadi pegangan terus-menerus dari zaman ke zaman. Yaitu tentang adanya tenaga-tanaga yang dikhususkan untuk memperdalam pengertian tentang agama, terkadang terjadi pergolakan politik, perang saudara, perebutan kekuasaan, pergelaran Bani Umayyah kepada Bani Abbas. Namun seluruh yang berkuasa itu mengkhususkan dan menganjurkan ahli-ahli penyelidik agama.itu makanya kita mendapati nama-nama ulama besar sebagai ‘atha’ dan mujahid. Said bin Jubair dan Said bin al-Musayyab dan Hasan al-Bishri, disamping nama-nama raja-raja Bani Umaiyah sebagai mu’awiiyah, Abdul Malik bin Marwan dan lain-lain.[22]
Mengapa tidak segolongan saja, atau sekelompok kecil saja yang berangkat kemedan tempur dari tiap-tiap golongan besar kaum mu’min, seperti penduduk suatu negeri atau suku, dengan maksud supaya orang mukmin seluruhnya dapat mendalami agama mereka. Yaitu dengan cara orang yang tidak berangkat dan tinggal dikota (Madinah), berusaha keras untuk memahami agama, yang wahyu-Nya turun kepada Rasulullah SAW yang menerangkan ayat-ayat tersebut, baik dengan perkataan atau perbuatan.[23] Dengan  demikian maka diketahui hukum beserta hikmahnya, dan menjadi jelas yang masih mujmal dengan adanya perbuatan Nabi tersebut. Disamping itu orang yang mendalami agama memberi peringatan kepada kaumnya yang pergi perang menghadapi musuh, apabila mereka telah kembali kedalam kota. [24]
Artinya, agar tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada Allah SWT dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, disamping agar seluruh kaum mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan pada seluruh umat manusia.[25]
 Jadi bukan bertujuan supaya memperoleh kepemimpinan dan kedudukan yang tinggi serta mengungguli kebanyakan orang-orang lain, atau bertujuan memperoleh harta dan meniru orang dzalim dan para penindas dalam berpakaian, berkendaraan maupun dalam persaingan diantara sesama mereka[26].
Menurut al-maraghi ayat tersebut member isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama (wujud al-tafaqqub fi al-din) serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya di dalam suatu negeri yang telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslatan bagi mereka sehingga tidak membiarkan mereka tidak mrngetahui hokum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman.[27]
Menyiapkan diri untuk memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu agama dan maksud tersebut adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapan allah, dan tidak kalah derajatnya dari orang-orang yang berjihad dengan harta dan dirinya dalam rangka meninggikan kalimat Allah, bahkan upaya tersebut kedudukan nya lebih tinggi dari mereka yang keadaannya sedang tidak berhadapan dengan musuh.[28]  Berdasarkan keterangan ini, maka mempelajari fiqh termasuk wajib, walau sebenarnya kata tafaqquh tersebut makna umumnya adalah memperdalam ilmu agama, termasuk ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf dan sebagainya.[29]
Orang-orang yang berjuang di bidang pengetahuan, oleh agama Islam disamakan nilainya dengan orang-orang yang berjuang di medan perang. Dalam hal ini Rasulullah saw. telah bersabda: "Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang)".[30]
Hadis tersebut menyuruh semua wajib tampil kemedan perang  atau dalam ayat 122 yang tengah kita tafsirkan menyuruh adakan pembagian tugas diantara setiap mujahidin, sebab dia telah kembali bernilai tinggi  karena sudah asal  ayat al-qur’an yang memberikan keterangan tegas.  Malahan diayat ini sudah jelas bahwa orang- orang yang beriman itu tidaklah semua berbondong kegaris depan, bahkan mesti ada yang menjaga garis belakang, garis benteng ilmu pengetahuan.[31]
Bolehlah kita perhatikan didalam sejarah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Sendiri setelah beliau wafat. Khalifah-khalifah yang besar yang berempat, meskipun mereka memiliki pengetahuan agama yang dalam, tetapi mereka menjadi pimpinan umum dalam kenegaraan dan peperangan. [32]
Tugas ulama umat Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut adalah merupakan tugas umat dan tugas setiap pribadi muslim sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah SAW. telah bersabda; "Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) daripadaku walaupun hanya satu ayat Alquran".[33]
Akan tetapi tentu saja tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk bertekun menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sebagiannya sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian
 dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islam dengan cara atau metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula. [34]
Apabila umat Islam telah memahami ajaran-ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya.Dengan demikian umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat. [35]
Di samping itu perlu diingat, bahwa apabila umat Islam menghadapi peperangan besar yang memerlukan tenaga manusia yang banyak, maka dalam hal ini seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus kembali kepada tugas semula, kecuali sejumlah orang yang diberi tugas khusus untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam dinas kemiliteran dan kepolisian. [36]
Oleh karena ayat ini telah menetapkan bahwa fungsi ilmu tersebut adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidaklah dapat dibenarkan bila ada orang-orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuannya hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apalagi untuk menggunakan ilmu pengetahuan sebagai kebanggaan dan kesombongan diri terhadap golongan yang belum menerima pengetahuan. [37]
Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan haruslah menjadi acuan bagi umatnya. Ia harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama. Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.[38]
Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan mencerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma kehidupan segi manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban adalah wajib pula hukumnya.[39]
Ayat tersebut merupakan isyarat tentang wajibnya pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya di tempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang-orang lain kepada agama, sebanyak yang dapat memperbaiki keadaan mereka. Sehingga mereka tidak bodoh lagi tentang hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui oleh setiap mu’min.[40]
Orang-orang yang beruntung, dirinya memperoleh kesempatan untuk mendalami agama dengan maksud seperti ini. Mereka mendapat kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT, dan tidak kalah tingginya dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa dalam meninggikan kalimat Allah SWT, membela agama dan ajaran-Nya. Bahkan, mereka boleh jadi lebih utama dari pejuang pada situasi lain ketika mempertahankan agama menjadi fardu‘ain bagi setiap orang.[41]
Orang-orang yang mempelajari agama dengan tujuan seperti itu lah orang yang beruntung. Mereka mendapat kedudukan yang tinggi di sisi Allah, dan tidak kalah tingginya dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa dalam meninggikan kalimat Allah, membela agama dan ajaran-Nya. Bahkan, mereka boleh jadi lebih utama dari pejuang pada situasi lain ketika mempertahankan agama menjadi fardhu'ain bagi setiap orang (Maraghi, 1992: 87). Pemakalah menyimpulkan dari uraian di atas bahwa peran ulama itu lebih mulia dari syuhada. Ayat ini berkenaan dengan kepergian mempelajari ilmu dan hukum-hukum atau panggilan umum untuk berjihad surat ini termasuk surat Madaniyah karena turun di Madinah pada saat peperangan.[42]
 Ayat ini menunjukkan, bahwa jihad itu dapat dengan harta kekayaan, dapat pula dengan jiwa. Barangsiapa mampu melakukan semuanya, maka wajib melakukannya. Tetapi jika hanya mampu 1 diantara keduanya, maka yang ia mampui itulah yang wajib ia lakukan. Pada masa pengaturan perang, kaum muslimin yang ahli dalam kemiliteran wajib melatih bala tentara.[43]
Zaman modern adalah zaman spesialisasi, kejuruan dan kekhususan suatu ilmu. Ilmu-ilmu agama islam sendiri mempunyai bidang-bidang khusus sendiri, jarang seorang ulama yang ahli dalam segala ilmu. Sebab itu maka pengertian terhadap cabang-cabangnya wajiblah diperdalam. Ujung ayat member lagi ketegasan  kewajiban ahli itu, telah memberi ingat dan ancaman kepada kaumnya bila mereka pulang kepada kaum itu, supaya kaum itu berhati-hati.[44]
Kita telah selalu memperdekat pengertian diantara bahasa barat dan bahasa arab yang terpakai dalam kalangan bangsa kita sekarang. Orang mengatakan bahwa arti ulama itu sama dengan sarjana. Tentang arti memang sama, sarjana boleh diartikan kedalam bahasa arab dengan ulama, dan ulama boleh diartikan kedalam bahasa Indonesia dengan sarjana.tetapi meskipun arti sama, namun pengertian adalah lain. Didalam kata ulama terkandung sambungan kewajiban. Orang yang mempelajari agama dengan mendalam, sehingga berhak diberi gelar ulama, sesudah mendapat tugas belajar secara mendalam,  mendapat lagi tugas lanjutan , yaitu memimpin kaumnya, sarjana belum tentu pemimpin, tetapi ulama berkewajiban memimpin.[45]
Dalam hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi: "Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya". Karena pentingnya fungsi ilmu dan para sarjana, maka beberapa negara Islam membebaskan para ulama (sarjana) dan mahasiswa pada perguruan agama dari wajib militer agar pengajaran dan pengembangan ilmu senantiasa dapat berjalan dengan lancar, kecuali bila negara sedang menghadapi bahaya besar yang harus dihadapi oleh segala lapisan masyarakat.[46]
Ayat ini adalah tuntunan yang jelas sekali tentang pembagian pekerjaan didalam melaksanakan seruan perang. Alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, yaitu golongan kaum yang beriman yang besar bilangannya, yang berintikan penduduk kota madinah dan kampong-kampung sekelilingnya.dari golongan yang besar itu diadakan satu kelompok , suatu panitia yang tidak terlepas dari ikatan golongan besar itu, dalam rangka berperang. Tugas mereka ialah memperdalam dan menyelidiki persoalan keagamaan.[47]
Ajaran islam itu mengutamakan akhlak bersamaan dengan ilmu. Bagi seorang ulama islam. Ilmu bukan semata-mata untuk diri sendiri, tetapi juga buat dipimpinkan. Setelah diterangkan pembagian tugas itu, sehingga ilmu dan pengertian agama bertambah mendalam, datanglah lanjutan ayat.

2.5 Aspek-aspek Tarbawi
1.      Melalui dengan pendidikan diharapkan pula lahir manusia yang kreatif, sanggup berfikir sendiri, walaupun kesimpulannya lain dari yang lain, sanggup mengadakan penelitian, penemuan dari seterusnya. Sikap yang demikian itu amat dianjurkan dalam al-Qur’an.
2.      Pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan prinsip perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Yaitu pengembangan ilmu pengetahuan yang ditujukan bukan semata-mata hanya untuk pengembangan   ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan untuk membawa manusia semakin mampu menangkap hikmah dibalik ilmu pengetahun, yaitu rahasia keagungan Allah SWT. Dari keadaan yang demikian itu, maka ilmu pengetahuan tersebut akan memperkokoh akidah, meningkatkan ibadah dan akhlak yang mulia.
3.      Pendidikan harus mampu mendorong peserta didik agar mencintai ilmu pengetahuan, yang terlihat dari terciptanya semangat dan etos keilmuan yang tinggi, memelihara, menambah, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, besedia mengajarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan dirinya, agama, bangsa dan Negara. [48]


BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Ayat-ayat ini menerangkan kelengkapan darai hokum-hukum yang menyangkut perjuangan, yaitu mencari ilmu, mendalami agama dan mendalaminya.
Tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui,dengan harapan supaya mereka takut kepada Allah SWT dan berhati-hati terhadap kemaksiatan, disamping itu agar seluruh kaum mukminnin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkannya.
Pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang sengan hujjah dan penyampaian bukti-bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru iman dan menegakkan sendi-sendi agama islam. Karena perjuangan yang digunakan bukan hanya pedang itu sendiri karena tidak disyariatkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari da’wah tersebut agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan menafik.

3.2     Saran
Kepada saudara sekaligus rekan sesame mahasiswa STAI YASNI Muara Bungo, kami sarankan janganlah kuliag sekedar untuk mengejar gelar, tetapi jadikanlah kuliah ini sebagai pemenuhan kebutuhan kita akan ilmu agama yang hendak kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Maroghi, Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang : PT Karya Toha Putra Semarang, 1993

Al-Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin As-Suyuthi. Tafsir Jalalain Berikut  Asbaabun Nuzuul Ayat, terj. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000.

Al-Jawi, Muhammad Nawawi, Marah Labiid Tafsir An-Nawawi,Surabaya:Al-Hidayah,tt,

Hamka,tafsir Al-azhar, Singapura; Pustaka Nasional PTE LTD Singapura,2003

Hawwa, Sa’id, Al-Asasu Fit Tafsir,(kairo: dar salam, 1405 H/1985 M),

Jauhari, Asy-syaikh thanthawi Al-jawahir Fi Tafsirik Qur’anil Adzim,Mesir; Musthafa Al-Yabiy Al-Halbiy Wa Auladihi, 1350 H




[2]  Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang; PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), hlm.84
[4] Al-Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin As-Suyuthi. 2000. Tafsir Jalalain Berikut  Asbaabun Nuzuul Ayat, terj. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
[5] Loc.cit
[8] Hamka,tafsir Al-azhar(singapura;Pustaka Nasional PTE LTD Singapura,2003)hal:3167
[9] Ibid, hal.3167
[10] Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang; PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 83-87.
[12] Loc.cit
[13] op.cit hal:3167
[15] Loc.cit hal.3167
[16] Ibid,hal.3167
[17] Sa’id Hawwa, Al-Asasu Fit Tafsir,(kairo: dar salam, 1405 H/1985 M), hal.2375
[18] Muhammad Nawawi Al-Jawi, Marah Labiid Tafsir An-Nawawi,(Surabaya;Al-Hidayah,tt,) hal:359-360
[19] Ibid, hal:359-360
[20] Asy-syaikh thanthawi jauhari, Al-jawahir Fi Tafsirik Qur’anil Adzim,(Mesir: Musthafa Al-Yabiy Al-Halbiy Wa Auladihi, 1350 H), hal.171
[21] opcit,hal.3169
[22] Ibid, hal.3169
[23] Mahmud Syaltut, Tafsir Al-qur’anul Karim(Bandung;  CV. Diponegoro, 1990)
[24] opcit, hal:86
[25] Loc.cit,hal:86
[26] Ibid,hal:87
[27] Ahmad mushthafa al-maraghy, tafsir al-maraghi, jilid IV, (Beirut Dar al-fikr,tp. Th), hal.48
[28]  Ibid, hal.48
[29] Loc.cit hal.48
[31] opcit, hal.3168
[33] Loc.cit
[34] Loc.cit
[35] Opcit. Hal.3168
[36] Ibid,hal.3168
[37] Hamka, Tafsir Al Azhar Juz XI(Jakarta; Pustaka Panjimas, 1984); hlm. 87.
[38] Ibid,hal.87
[39] Ibid,hal.88
[41] Loc.cit
[42] Opcit,hal.88
[43] Loc.cit
[44] Opcit, hal.3171
[45] Ibid, hal.3171
[46] Loc.cit
[47] Opcit hal.3172




[1] Ahmad Mustafa Al Marafagi, Tafsir Al-Maragi ,(Semarang; CV Toha Putra Semarang. 1989) hal.50
[2] Ibid,hal.50


Tidak ada komentar:

Posting Komentar