TUGAS
MAKALAH
“Surah
Al-Mu’minun Ayat 12-16”
Diajukan
Untuk Didiskusikan Dalam Mata Kuliah Tafsir Ayat Tarbawi
DOSEN PENGAMPU:
Mubaidilah.S.Th.I.MA
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2:
LIANA SANTI
LINDA WATI
STAI YASNI MUARA BUNGO
TAHUN AKADEMIK 2015
KATA
PENGANTAR
Segala
puji kami hantarkan kehadirat Pencipta dan Pemilik alam semesta Allah SWT.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada manusia paling sempurna
Nabi Muhammad SAW para sahabat dan seluruh umatnya.
Berkat
pertolongan Allah SWT kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah tentang
Tafsir Surat ar-rum ayat 30-31 yang kami susun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah
Tafsir Tarbawi. Kami harapkan makalah ini bisa membantu teman – teman untuk
mengenal dan dapat untuk mendalaminya lebih jauh.
Kami
penyusun makalah ini menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat kekurangan di sana, Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca
sangat kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah yang akan datang.
Penyusun,3
juni 2015
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR
ISI...................................................................................................................... ii
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang........................................................................................ iii
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... iii
1.3 Tujuan………………………………………………….......................... iii
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Surah Ar-rum Ayat 30-31 dan
Terjemahaannya …..……………..................... 1
2.2 Tafsir Mufrodat…………….............………………….................................... 1
2.3 Tafsir al-Azhar dan al-Maraghi….……………………..................................... 2
2.4 Tafsir al-misbah................................................................................................. 12
2.5 Aspek-Aspek Tarbawi………………………………….......................... 15
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................................... 16
3.2 Saran.................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Surat al-Mujadillah, 58:11 dan
Terjemahannya
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya:
11 Hai orang-orang beriman,
apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam maejlis", Maka
lapangkanlah. niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
2.2
Tafsir Mufrodat
تَفَسَّحُوا : tawassa’u artinya melempangkan atau melapangkan.
انْشُزُوا : qumu, inhadhu atau irtafi’u,
artinya berdiri, bangkit,
sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi.
يَرْفَع : meninggikan atau
mengangkat.
الْمَجَالِسِ : (jamak dari majlis) artinya
tempat duduk atau forum
pertemuan.
الْعِلْم : ilmu pengetahuan.
2.3 Asbab
Al-Nuzul
Diriwayatkan
bahwa apabila ada orang yang baru datang ke majlis Rasulullah, para sahabat
tidak mau memberikan tempat duduk kepada orang lain. Kemudian Allah menurunkan
ayat tersebut (al-Mujadilah: 11) sebagai perintah untuk memberikan tempat duduk
kepada orang yang baru datang (HR. Ibnu Jarir dari Qatadah).[2]
Dalam riwayat yang lain dikemukakan bahwa ayat
tersebut diturunkan pada hari Jum’at, disaat pahlawan-pahlawan Badar datang keforum
pertemuan yang penuh sesak. Orang-orang yang hadir lebih awal tidak mau
memberikan tempat duduk kepada mereka, sehingga mereka terpaksa berdiri. Lalu
Rasulullah menyuruh para sahabat yang sedang duduk itu supaya mereka berdiri
agar tamu yang baru datang mendapat tempat duduk. Namun, orang-orang yang
diperintah berdiri itu merasa tersinggung perasaan mereka. Kemudian, Allah
menurunkan ayat di atas (al-Mujadilah:11) yang memerintahkan kepada mereka
untuk memberikan tempat duduk kepada saudara-saudara mereka sesama mukmin (HR. Ibnu
Abi Hatim dari Muqatil).[3]
2.4
Tafsir al-Azhar dan al-Maraghi Surat al-Mujadalah
Tentu
saja berkerumunlah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. mengerumuni beliau karena
ingin mendengar butir-butir dan nasehat dan bimbingan beliau. Dan apabila
masyarakat itu kian berkembang kian banyaklah majlis tempat berkumpul membincangkan
hal-hal yang penting. Tentu saja majlis demikian kadang-kadang rnenjadi sesak
dan sempit, karena banyaknya orang yang duduk. Dan kadang-kadang orang yang
terlebih dahulu masuk mendapat tempat duduk yang bagus sedang yang datang
kemudian tidak dapat masuk lagi. Kadang-kadang pula disangka oleh yang datang
kemudian bahwa tempat buat duduk di muka sudah tidak dapat menampung orang yang
baru datang lagi, sehingga yang baru datang terpaksa duduk menjauh. padahal tempat
yang didalam itu masih lapang. Kadang-kadang orang yang telah enak duduknya di
dalam itu kurang enak kalau ada yang baru datang meminta agar mereka disediakan
tempat.[4]
Maka
datanglah peraturan dari Allah sendiri yang mengatur agar majlis itu teratur dan
suasananya terbuka dengan baik .
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
@Ï%
öNä3s9
(#qßs¡¡xÿs?
Îû
ħÎ=»yfyJø9$#
(#qßs|¡øù$$sù
Ëx|¡øÿt
ª!$#
öNä3s9
Artinya :"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan
kepadamu berlapang-lapanglah pada majlis-majlis, maka lapangkanlah, [pangkal
ayat 11].
Dari
ayat diatas Allah memerintahkan kepada mereka sebab kecintaan dan kerukunan
diantara orang-orang mu’min. Diantara
sebab kecintaan dan kerukunan itu adalah melapangkan tempat di majlis
(pertemuan) ketika ada orang yang datang dan bubar ketika disuruh bubar.
Apabila kalian melakukan hal yang demikin itu, maka Allah akan meninggikan
tempat-tempat kalian disurganya dan menjadikan kalian di dalam surga termasuk
orang-orangyang berbakti tanpa kekhwatiran dan kesedihan.[5]
Dari
ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa para sahabat berlomba-lomba untuk
berdekatan dengan tempat duduk Rasulallah SAW untuk mendengarkan pembicaraan
beliau yang mengandung banyak kebaikan dan keutamaan yang besar. Diperintahkan
pula untuk memberi kelonggaran dalam majlis dan tidak merapatkannya, dan
apabila yang demikian ini menimbulkan rasa cinta didalam hati dan kebersamaan
dalam mendengarkan hukum-hukum agama, maka akan dilapangkan baginya
kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat.[6]
Isi
kandungan pada ayat diatas berbicara tentang etika atau akhlak ketika berada
dalam majelis ilmu. Etika dan akhlak tersebut antara lain ditunjukan untuk
mendukung terciptanya ketertiban, kenyamanan dan ketenangan suasana dalam
majelis, sehingga dapat mendukung kelancaran kegiatan ilmu pengetahuan.Ayat
diatas juga sering digunakan para ahli untuk mendorong diadakannya kegiatan di
bidang ilmu pengetahuan, dengan cara mengunjungi atau mengadakan dan menghadiri
majeis ilmu. Dan orang yang mendapatkan ilmu itu selanjutnya akan mencapai
derajat yang tinggi dari Allah.[7]
Menurut
Imam Al Qurthubi "Maksud ayat di atas yaitu, dalam hal pahala di akhirat
dan kemuliaan di dunia, Allah SWT. akan meninggikan derajat orang beriman dan
berilmu di atas orang yang tidak berilmu. Kata Ibnu Mas`ud, dalam ayat ini
Allah Subhanahu wa Taala memuji para ulama. Dan makna bahwa Allah SWT akan
meninggikan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat, adalah derajat dalam
hal agama, apabila mereka melakukan perintah-perintah Allah" (Tafsir
Al-Qurtubi hal. 5070). [8]
Bahwa
majlis, yaitu duduk bersama. Asal mulanya duduk bersama mengelilingi Nabi
karena hendak mendengar ajaran-ajaran dan hikmat yang akan beliau keluarkan.
Tentu ada yang datang terlebih dahulu, sehingga tempat duduk bersama itu kelihatan
telah sempit. Karena diwaktu itu orang duduk bersama di atas tanah, belum
memakai kursi sebagai sekarang. Niscaya karena sempitnya itu, orang yang datang
kemudian tidak lagi mendapat tempat. Lalu dianjurkanlah oleh Rasul agar yang
telah duduk terlebih dahulu melapangkan tempat bagi yang datang kemudian. Sebab
pada hakikatnya tempat itu belumlah sesempit apa yang kita sangka. Masih ada
tempat lowong, masih ada ternpat untuk yang datang kemudian. Sebab itu
hendaklah yang telah duduk lebih dahulu melapangkan tempat bagi mereka yang
baru datang itu. Karena yang sempit itu bukan tempat, melainkan hati. Thabi'at mementingkan diripada manusia
sebagai kesan pertama, enggan memberikan tempat kepada yang baru datang itu. Oleh
sebab itu apakah yang mesti dilapangkan lebih dahulu, tempatkah atau hati ?
Niscaya hatilah ! Sebab bila kita lihat orang baru datang , kesan pertama ialah
enggan memberikan tempat. Perhatikanlah orang yang menumpang kereta api yang
telah bersempit-sempit. Tempat duduk hanya buat dua orang tetapi penumpang
telah lebih dari hinggaan, sehingga banyak yang berdiri. Orang yang telah duduk
tidaklah akan mempersalahkan orang yang naik kemudian itu untuk duduk didekatnya,
sebab dia hendak mempertahankan haknya. Biarkan saja dia berdiri berjam-jam !
Masa bodoh ![9]
Tetapi
kalau yang datang kemudian itu kenalan baiknya, akan segera orang itu
disuruhnya duduk. Ataupun yang baru datang itu dengan sikap hormat memohon
sudilah kiranya memberikan peluang baginya untuk turut duduk, niscaya akan
diberinya juga dengan setengah enggan. tetapi setelah orang yang baru datang
itu dapat membuka hati orang itu dengan sikapnya yang terbuka, dengan budi
bahasanya, dengan senyum manisnya, akhirnya mereka tidak akan merasa sempit
lagi, meskipun memang kelihatannya telah sempit. Begitu pula dalam majlis
pengajian dalam masjid atau surau-surau sendiri. Betapapun sempitnya tempat
pada anggapan semula, kenyataannya masih bisa dimuat orang lagi. Yang di luar
disuruh masuk ke dalam, karena tempat masih lebar, meskipun ada yang telah mendapat
tempat duduk itu yang kurang senang melapangkan tempat. Oleh sebab itu maka di
dalam ayat ini diserulah terlebih dahulu dengan panggilan[10]
"orang
yang beriman", sebab orang-orang yang beriman itu hatinya lapang, diapun
mencintai saudaranya yang terlambat masuk. Kadang-kadang dipanggilnya dan
dipersilahkannya duduk kedekatnya. Lanjutan ayat mengatakan;
Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9
Artinya:
" niscaya Allah akan melapangkan
bagi kamu."
karena
hati telah dilapangkan terlebih dahulu menerima teman, hati kedua belah pihak
akan sama-sama terbuka. Hati yang terbuka akan memudahkan segala urusan
selanjutnya. Tepat sebagaimana bunyi pepatah yang terkenal; " Duduk
sendiri bersempit-sempit, duduk banyak berlapang-alapang." Duduk sendiri
fikiranlah yang jadi sempit, tidak tahu apa yang akan dikerjakan. namun setelah
duduk bersama, hati telah terbuka, musyawarah dapat berjalan dengan lancar,
berat sama dipikul, ringan sama dijinjing."
Kalau
hati sudah lapang fikiran pun lega, akal pun terbuka dan rezeki yang halal pun
dapat didatangkan Allah dengan lancar. Kekayaan yang istimewa dalam kehidupan
ini terutama ialah banyaknya kontak diantara diri dengan masyarakat, banyak
mendapat pertemuan umum. Walaupun seseorang mendapat kekayaan berlipat ganda,
sama saja keadaannya dengan seorang yang miskin kalau hatinya sempit kalau yang
diingatnya hanya keuntungan diri sendiri, sehingga tempat duduk enggan
memberikan kepada orang lain.
#sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù
Artinya:
"Dan jika dikatakan kepada kamu
"berdirilah", maka berdirilah!"
Ar-Razi
mengatakan bahwa maksud dari kata-kata ini adalah dua ;
1.
Jika
disuruh orang kamu berdiri untuk memberikan tempat kepada yang lain yang lebih
patut duduk di tempat yang kamu duduki itu, segeralah berdiri!
2.
Yaitu
jika disuruh berdiri karena kamu sudah lama duduk, supaya orang lain yang belum
mendapat kesempatan diberi peluang pula, maka segeralah kamu berdiri! Kalau
sudah ada saran menyuruh berdiri, janganlah "berat ekor" seakan-akan
terpaku pinggulmu di tempat itu, dengan tidak hendak memberi kesempatan kepada
orang lain.
Menurut
suatu riwayat yang dibawakan oleh Muqatil bin Hubban, ayat ini turun pada hari
jum'at. Ketika itu Rasulullah SAW. duduk di ruang Shuffah (yaitu ruang tempat berkumpul dan tempat tinggal sekali
dari sahabat-sahabat Rasulullah SAW. yang tidak mempunyai rumah tangga). Tempat
itu agak sempit dan sahabat-sahabat dari muhajirin
dan Anshar telah berkumpul. Beberapa
orang sahabat yang turut dalam peperangan Badr
telah ada hadir dan kemudian datang pula yang lain. Mana yang datang
mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW. dan kepada orang-orang yang hadir
lebih dahulu.
Salam
mereka dijawab orang yang telah hadir, tetapi mereka tidak bergeser dari tempat
duduk mereka, sehingga orang-orang yang baru datang itu terpaksa berdiri terus.
Melihat hal itu Rasulullah merasakan kurang senang terutama karena di antara
yang baru datang itu adalah shahabat-shahabat yang mendapat penghargaan
istimewa dari Allah, karena mereka turut dalam peperangan Badr. Akhirnya bersabdalah Rasulullah SAW. kepada sahabat-sahabat
yang bukan ahli-ahli Badr; "Hai
Fulan berdirilah engkau ! Hai Fulan, engkau berdiri pulalah ! "
Lalu
beliau suruh duduk ahli-ahli Badr
yang masih berdiri itu. Tetapi yang disuruh berdiri itu ada yang wajahnya
terbayang rasa kurang senang atas hal yang demikian dan orang munafiq yang
turut hadir mulailah membisikkan celaannya atas yang demikian seraya berkata;
"Itu perbuatan yang tidak adil, demi Allah !" Padahal ada orang dari
semula telah duduk karena ingin mendekat dan mendengar, tiba-tiba dia disuruh
berdiri dan tempatnya disuruh duduki kepada yang baru datang. Melihat yang
demikian bersabdalah Rasulullah SAW.: "Dirahmati Allah seseorang yang
melapangkan tempat buat saudaranya ". (Ibn Abi Hatim)
Inilah
sebab turun ayat menurut riwayat Muqatil bin Hubban itu. Sebuah riwayat sebab
turun ayat lagi diriwayatkan pula dari Ibnu 'Abbas, bahwa turunnya ayat ini
berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas. Yaitu bahwa dia masuk ke dalam
masjid terkemudian, didapatinya orang telah ramai. Sedang ia ingin sekali duduk
di dekat Rasulullah SAW. karena telinganya kurang mendengar (agak pekak).
Beberapa orang melapangk:an tempat baginya, tetapi beberapa yang lain tidak
memberinya tempat sehingga terjadi pertengkaran. Akhirnya disampaikannya kepada
Nabi SAW. bahwa dia ingin duduk mendekati Rasulullah ialah karena dia agak
pekak, tetapi kawan ini tidak memberinya peluang untuk duduk. "Maka
turunlah ayat ini", kata Ibnu 'Abbas ; Disuruh orang memperlapang tempat
buat temannya dengan terutama sekali memperlapang hati! Dan jangan sampai
seseorang menyuruh orang lain berdiri karena dia ingin hendak menduduki
tempatnya tadi.
Lain
keterangan lagi ialah bahwa mereka berduyun dan semua ingin paling dekat kepada
Nabi. Maka turunlah ayat ini menyuruh memerlapang tempat untuk yang datang di
belakang, dan kalau Nabi menyuruh berdiri segeralah berdiri, biar berikan pula
tempat kepada yang baru datang, jangan hendak dikangkangi tempat itu untuk diri
sendiri.
Lama-lama
bertambah teraturlah majlis itu. Karena masing-masing orang telah tahu hormat
menghormati, yang tua patut dituakan, yang lebih berjasa patut dilebihkan.
karena Nabi SAW. pernah pula bersabda : "Supaya mengelilingiku orang-orang
yang mempunyai pandangan jauh dan lanjutan." (Riwayat Imam Akhmad)
Sejak
itu artinya orang-orang tua atau dituakan dijaga sajalah mana yang patut di
muka biarlah dia di muka. Biasanya Abu Bakar di sebelah kanan beliau, 'Umar di
sebelah kiri, sedang 'Utsman dan 'Ali duduk di hadapan beliau, sebab keduanya
kerapkali diberi tugas mencatat wahyu kalau kebetulan turun. Begitu menurut
yang dirawikan oleh Muslim.
Ar-Raziy
mengatakan bahwa berkat pengaruh kelapangan tempat duduk karena hati yang lebih
dahulu lapang itu, karena mereka memang banyak memang sempitlah tempat mereka
duduk itu, tetapi tidak terasa sebab masing-masing melapangkan hati malahan
silah menyilahkan, panggil memanggil. Dan kalau ada yang terpaksa meninggalkan
majlis sebentar untuk sesuatu hajat, tidak ada yang mau menggantikan tempat
duduk itu, kecuali kalau dia mengatakan tidak akan kembali lagi karena sesuatu
uzur yang lain. Ar-Razi mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa apabila
seseorang berlapang hati kepada sesamanya hamba Allah dalam memasuki serba
aneka pintu kebajikan dan dengan kesenangan fikiran, niscaya Allah akan
melapangkan pula baginya pintu-pintu kebajikan di dunia dan di akhirat. Sebab
itu kata Razi selanjutnya tidaklah selayaknya orang yang berakal cerdas
membatasi ayat ini hanya sekedar melapangkan tempat duduk dalam suatu majlis
bahkan luaslah yang dimaksud oleh ayat ini yaitu segala usaha bagaimana agar
suatu kebajikan dan kemanfaatan sampai kepada sesame Muslim, bagaimana supaya
hatinya jadi senang, bagaimana membuat kita gembira dalam hatinya dan menghilangkan
perasaannya yang tertekan, termasuklah semuanya dalarn cakupan ayat ini. Sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW. :"Senantiasalah Allah akan menolong seorang
hambaNya, selama hamba itu pun masih bersedia menolong sesaman Muslim."( dirawikan
oleh Muslim, Abu Dawud dan At-Tarmidzi ; susunan kata dari riwayatnya.)
Selain
dari itu ada lagi beberapa peraturan sopan santun yang berkenaan dengan shaff pula, terutama pada sembahyang
berjamaah lima waktu. Orang dianjurkan berlomba menuju shaff yang pertama. Maka
pada hari jum'at, banyaklah orang-orang yang dianggap tidak pantas menurut
"shaff dunia" berlomba
duduk ke shaff yang pertama. Mereka cepat-cepat datang ke Masjid karena
melaksanakan anjuran Nabi SAW. lebih lekas ke masjid lebih baik, dan pahalanya
lebih besar.
Tetapi
kerapkali kejadian, orang-orang yang dipandang mendapat kedudukan duniawi yang
lebih tinggi terlambat datang. Lalu beliau dipersilahkan datang di shaff yang
pertama, bahkan kadang-kadang sajadah dan tempat duduk beliau telah tersedia.
Maka kalau beliau datang tidak lagi boleh orang lain yang telah datang lebih
dahulu disuruh meninggalkan shaffnya dan pindah ke shaff belakang, hanya semata-mata
karena dia bukan "orang terpandang." Nabi SAW. bersabda;
"Janganlah berdiri seseorang dari majlisnya untuk seorang yang lain tetapi
lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkanmu pula." [ Dirawikan oleh
Imam Ahmad ]
Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy
Artinya: "Allah
akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu beberapa derajat "
Sambungan ayat ini pun mengandung
dua tafsir :
1. Jika seseorang disuruh melapangkan
majlis, yang berarti melapangkan hati, bahkan jika dia disuruh berdiri sekali
pun lalu memberikan tempatnya kepada orang yang patut didudukkan di muka,
janganlah dia berkecil hati. Melainkan hendaklah dia berlapang dada. Karena
orang yang berlapang dada itulah kelak yang akan diangkat Allah imannya dan
ilmunya, sehingga derajatnya bertambah naik. Orang yang patuh dan sudi
memberikan tempat kepada orang lain itulah yang akan bertambah ilmunya.
2. memang ada orang yang diangkat Allah
derajatnya lebih tinggi dari pada orang kebanyakan, pertama karena imannya,
kedua karena ilmunya Setiap hari pun dapat kita melihat pada raut rnuka, pada
wajah, pada sinar mata orang yang beriman dan berilmu.
Ada
saja tanda yang dapat dibaca oleh orang yang arif bijaksana bahwa si Fulan ini
orang beriman, si fulan ini orang berilmu. Iman memberi cahaya pada jiwa,
disebut juga pada moral. Sedang ilmu pengetahuan memberi sinar pada mata. Iman
dan ilmu membuat orang jadi mantap. Membuat orang jadi agung, walaupun tidak
ada pangkat jabatan yang disandangnya. Sebab cahaya itu datang dari dalam
dirinya sendiri, bukan disepuhkan dari luar.
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya :"Dan
Allah dengan apa pun yang kamu kerjakan, adalah Maha Mengetahui "
[Ujung ayat 11].
Ujung
ayat ini ada patri ajaran ini. Pokok hidup utama adalah Iman dan pokok
pengiringnya adalah Ilmu. Iman tidak disertai ilmu dapat membawa dirinya
terperosok mengerjakan pekerjaan yang disangka rnenyembah Allah , padahal
mendurhakai Allah.
Sebaliknya
orang yang berilmu saja tidak disertai atau yang tidak membawanya kepada iman,
maka ilmunya itu dapat membahayakan bagi dirinya sendiri ataupun bagi sesama
manusia Ilmu manusia tentang tenaga atom misalnya, alangkah penting ilmu itu,
itu kalau disertai Iman Karena dia akan membawa faedah yang besar bagi seluruh peri kemanusiaan. Tetapi ilmu itupun
dapat dipergunakan orang untuk memusnahkan sesamanya manusia, karena jiwanya
tidak dikontrol oleh Irnan kepada Allah.
Berkenaan
dengan turunnya ayat tersebut dapat diikuti keterangan yang diberikan oleh Ibn
Abi Khatim. Menurut riwayatnya yang diterima dari Muqatil bin Hibban, bahwa
pada suatu ketika di hari jum’at Rasulullah berada disuatu tempat yang sempit,
saat mana ia tengah menerima tamu dari penduduk Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar, tiba-tiba sekelompok seorang yang didalamnya termasuk Tsabit
bin Qais datang dan ingin duduk dibagian depan
tempat tersebut. mereka berdiri memuliakan Rasulullah SAW, dan
mengucapkan salam kepadanya. Nabi menjawab salam kelompok orang tersebut, dan
juga kelompok tersebut menjawab salam kelompok orang tersebut, dan juga
menjawab salam dari kelompok lainnya. mereka berdiri disampingnya dan menungggu
agar diberikan tempat yang agak luas. Namun orang yang datang terdahulu tetap
tidak memberikan peluang. Kejadian tersebut kemudian mendorong Rasulullah
mengambil inisiatif dan berkata kepada sebagian orang yang ada disekitarnya,
berdirilah kalian, berdirilah kalian. Kemudian berdirilah sebagian kelompok
tersebut berdekatan dengan orang yang datang terdahulu, sehingga Rasulullah
tampak menunjukkan kekecewaannya di hadapan mereka. Dalam keadaam demikian
itulah ayat tersebut diturunkan. [11]
Selanjutnya berkenaan dengan kandungan ayat tersebut
dapat dikemukakan sebagai berikut: Kata tafassabu
pada ayat tersebut maksudnya adalah tawassa’u
yaitu saling meluaskan dan mempersilakan. Sedangkan kata yafsabillahu lakum maksudnya Allah akan
melapangkan rahmat dan rizki kepada mereka. Unsuzyu
maksudnya saling merendahkan hati untiuk memberi kesempatan kepada setiap orang
yang datang yarfa’illahu ladzina amanu,
maksudnya Allah akan mengangkat derajat yang telah memuliakan dan memiliki ilmu
diakhirat pada tempat yang khusus sesuai dengan kemuliaan dan ketinggian
derajatanya.[12]
2.4 Tafsir al-Misbah
Larangan
berbisik yang diturunkan oleh ayat-ayat yang lalu merupakan salah satu tuntunan
akhlak, guna membina hubungan harmonis antar sesama. Berbisik di tengah orang
lain mengeruhkan hubungan melalui pembicaraan itu. Ayat di atas merupakan
tuntunan akhlak yang menyangkut perbuatan dalam majlis untuk menjalin
harmonisasi dalam satu majelis.Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman,
apabila dikatakan kepada kamu” oleh siapa pun: berlapang-lapanglah.[13]
Yaitu berupayalah dengan sungguh-sungguh
walaupun dengan memaksakan diri untuk memberi tempat orang lain dalam
majlis-majlis yakni satu tempat, baik tempat duduk maupun bukan tempat duduk,
apabila diminta kepada kamu agar melakukan itu maka lapangkanlah tempat untuk
orang lain itu dengan suka rela. Jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya
Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan apabila di
katakan:” Berdirilah kamu ketempat yang lain, atau untuk diduduk tempatmu buat
orang yang lebih wajar, atau bangkitlah melakukan sesuatu seperti untuk shalat
dan berjihad, maka berdiri dan bangkit-lah, Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman diantara kamu wahai yang memperkenankan tuntunan ini dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat kemudian didunia dan
diakhirat dan Allah terhadap apa-apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa akan
datang Maha Mengetahui.[14]
Ada
riwayat yang menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari Jum’at. Ketika itu
Rasul SAW. berada di suatu tempat yang sempit, dan telah menjadi kebiasaan
beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr,
karena besarnya jasa mereka. Nah, ketika majlis tengah berlangsung, beberapa
orang diantara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada
Nabi SAW. Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin yang
juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja
berdiri, maka Nabi SAW. memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain yang
tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat
yang berjasa itu duduk di dekat Nabi SAW. perintah Nabi itu, mengecilkan hati
mereka yang disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk memecah belah dengan berkata “katanya muhammad
berlaku adil, tetapi ternyata tidak.” Nabi mendengar keritik itu bersabda:
“Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya.” Kaum beriman
menyambut tuntunan Nabi dan ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda
Nabi SAW.[15]
Kata
tafassaḫû dan ifsaḫû terambil dari kata fasaḫa
yakni lapang. Sedang kata unsyuzû terambil
dari kata nûsyuz yakni tempat yang
tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ketempat yang lebih
tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ketempat lain untuk memberi kesempatan
yang lebih wajar duduk atau berada di tempat wajar pindah itu, atau bangkit
melakukan suatu aktifitas positif. Ada yang memahaminya berdirilah dari rumah
Nabi, jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi SAW.
Yang lain dari yang perlu segera dia hadapi.[16]
Kata
majȃlis adalah bentuk jamak dari kata
majlis. Pada mulanya berarti tempat
duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad SAW. Membert tuntunan
agama ketika itu. Tapi yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara
mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri atau bahkan tempat berbaring. Karena
tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta
mengalah kepada orang-orang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non-muslim
sekalipun, jika anda wahai yang muda duduk di bus, atau kereta, sedang dia
tidak mendapat tempat duduk, maka adalah wajar dan berdab jika anda berdiri
untuk memberinya tempat duduk.[17]
Ayat
diatas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang
berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat[18]
yakni lebih tinggi dari sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan[19]
itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang di milikinya itulah yang
berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari
faktor di luar ilmu itu.[20]
Tentu
saja yang di maksud dengan alladzȋnaûtû
al-‘ilmu/yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi
diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman
kepada dua kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal shaleh, dan
yang kedua beriman dan beramal shaleh serta memiliki pengetahuan. Derajat
kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang
disandangnya, tetapi juga amal pengajarannya kepada pihak lain secara lisan,
atau tulisan maupun dengan keteladanan.[21]
Ilmu yang di maksud ayat di atas bukan hanya ilmu
agama tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dalam QS. 35: ayat 27-28. Allah
meguraikan sekian banyak mahluk Ilahi, dan fenomena alam, lalu ayat tersebut
ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada Allah dari
hamba-hambanya hanyalah ulama, ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan
al-Qur’an bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain juga menujukkan bahwa ilmu
haruslah menghasilkan khasyyah yakni
rasa takut dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu
untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkan untuk kepentingan mahkluk, Rasul
sering kali berdo’a (aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).[22]
2.5
Aspek-Aspek
Tarbawi
1. Pada QS. Al-Mujadillah ayat 11 ini
mejelaskan Bahwa para sahabat berupaya ingin saling mendekat pada saat berada
di majelis Rasulullah SAW, dengan tujuan agar ia dapat mudah mendengar wejangan
dari Rasulullah SAW. Yang diyakini bahwa dalam wejangannya itu terdapat
kebaikan yang amat dalam serta keistimewaan yang agung.
2. Bahwa perintah untuk saling meluangkan
dan meluaskan tempat ketika berada di majelis, tidak saling berdesakan dan
berhimpitan dapat dilakukan sepanjang dimungkinkan, karena cara demikian dapat
menimbulkan keakraban diantara sesama orang yang berada di dalam majelis dan
bersama-sama dapat mendengar wejangan Rasulullah SAW.
3. Bahwa pada setiap orang yang memberikan
kemudahan kepada hamba Allah yang ingin menuju pintu kebaikan dan kedamaian,
Allah akan memberikan keluasan kebaikan di dunia dan akhirat. Singkatnya ayat
ini berisi perintah untuk memberikan kelapangan dalam mendatangkan setiap
kebaikan dan memberikan rasa kebahagiaan kepada setiap orang Islam. Atas dasar
inilah Rasulullah SAW, menegaskan bahwa Allah akan selalu menolong hambanya,
selama hamba tersebut selalu menolong sesama saudaranya.[23]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari ayat diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang disuruh melapangkan majlis, yang
berarti melapangkan hati, bahkan jika dia disuruh berdiri sekali pun lalu
memberikan tempatnya kepada orang yang patut didudukkan di muka, janganlah dia
berkecil hati. Melainkan hendaklah dia berlapang dada. Karena orang yang
berlapang dada itulah kelak yang akan diangkat Allah imannya dan ilmunya,
sehingga derajatnya bertambah naik. Orang yang patuh dan sudi memberikan tempat
kepada orang lain itulah yang akan bertambah ilmunya. memang ada orang yang
diangkat Allah derajatnya lebih tinggi dari pada orang kebanyakan, pertama
karena imannya, kedua karena ilmunya Setiap hari pun dapat kita melihat pada
raut rnuka, pada wajah, pada sinar mata orang yang beriman dan berilmu.
3.2 Saran
Kepada saudara sekaligus rekan sesame
mahasiswa STAI YASNI Muara Bungo, kami sarankan janganlah kuliag sekedar untuk
mengejar gelar, tetapi jadikanlah kuliah ini sebagai pemenuhan kebutuhan kita
akan ilmu agama yang hendak kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. dkk.,Tafsir
Al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian
al-Qur’an, Volume XIV, Jakarta: Lentera Hati. 2006
Hamka,
Tafsir Al-Azhar, Pustaka
Islam, juz 28, Surabaya, 1993.
Muhammad al-Wahidi. Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-kitab al-‘Ilmiyyah, 2006.
[4] Diakses dari http://kongaji.tripod.com/myfile/Al-Mujaadalah-ayat-11-13.htm
[6] Loc.cit
[7] Loc.cit
[10] Loc.cit
[11] Ahmad musthafa al-maraghi, tafsir
al-maraghi,jilid X, (Beirut; Dar al-fikr, tp.th.)hal.16
[12] Ibid, hal.16
[13] Berlapang-lapanglah kita dalam suatu
pertemuan/majelis dengan memberikan tempat kepada Saudara-saudara kita yang
baru datang.
Qur’an, Volume XIV( Jakarta; Lentera Hati, 2006 ); hlm. 77
[16] Loc.cit
[17] Loc.cit
[18] Darajāt
(beberapa derajat), yakni beberapa keutamaan didalam surga, mengungguli derajat
orang-orang yang diberi iman tanpa ilmu. Sebab seorang Mukmin yang berilmu
lebih utama daripada orang Mukmin yang tak berilmu.
[19] Kemerdekaan
manusia tercermin dari kepemilikan akalnya. Manusia diberikan oleh Allah sebuah
akal untuk memilah dan memilih mana yang benar di antara yang salah. Maka
Islampun menyeru kepada kita untuk terus mengasah akal pikiran kita. Tentu saja
caranya dengan belajar, dimana belajar di dalam Islam merupakan sebuah
kewajiban individu.
[20] Op.cit, hal.77
[21] Ibid, hal.77
[22] Ibid, hal. 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar